Asuhan Kehamilan Pada Ibu Dengan Komplikasi Apendisitis
Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks
disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan
digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu
sebenarnya adalah sekum.
Kecurigaan apendisitis merupakan
salah satu indikasi tersering untuk melakukan eksplorasi abdomen secara bedah
selama kehamilan. Mazze dan Kallen (1991) melaporkan temuan-temuan dari 720.000
persalinan tercatat di swedia dan mendapatkan bahwa 778 (sekitar 1 dalam 1000
kehamilan) wanita menjalani apendoktomi selama kehamilan. Apendisitis
dipastikan pada 65% atau sekitar 1 dalam 1500 kehamilan.
Kehamilan sering menyebabkan
diagnosis apendisitis menjadi lebih rumit karena:
1. Anoreksia,
mual, dan muntah yang menyertai
kehamilan normal juga merupakan gejala yang sering terjadi pada apendisitis
2. Sewaktu uterus
membesar, apendiks biasanya bergeser ke atas dan keluar menuju panggul sehingga
nyeri spontan dan nyeri tekan di kuadran kanan bawah mungkin tidak menonjol
3. Pada kehamilan
normal, biasanya terjadi leukositosis
4. Terutama selama
kehamilan, penyakit-penyakit lain dapat dikacaukan dengan apendisitis, misalnya
pielonefritis, kolik ginjal, solusio plasenta, dan degenerasi mioma uterus.
5. Wanita hamil,
terutama pada usia kehamilan lanjut tidak memperlihatkan gejala yang dianggap
khas untuk pasien apendisitis non hamil.
Sewaktu apendisitis
didorong semakin tinggi secara progresif oleh uterus yang membesar, pembatasan
infeksi oleh omentum semakin kecil kemungkinannya terjadi dan resiko ruptur
apendiks serta peritonitis generalisata meningkat. Dalam sebuah laporan
baru-baru ini oleh Tracey dan Fletcher (2000), lebih dari separuh wanita hamil
mengalami apendisitis perforasi.
Apendisitis akut pada kehamilan lanjut memiliki prognosis paling buruk dan
memang pada penelitian-penelitian lama, angka kematian ibu mencapai 5% (Sharp, 1994). Meningkatnya morbiditas dan
mortalitas janin dan ibu hampir selalu disebabkan oleh penundaan pembedahan.
Etiologi
Apendisitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks.
Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras
(fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing
dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan.
Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit
dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling
sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah
ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan
peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat
menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis.
Patofisiologi
Oklusi lumen appendiks mencegah
sekresi mukosa menjadi kering. Sebagian sekresi menumpuk, tekanan intraluminal
meningkat dan mempengaruhi aliran darah mukosa yang menyebabkan hipoksia. Iskemia
mukosa dapat berkembang menjadi ulkus, yang memberikan jalan masuk untuk invasi
bakteri. Invasi bakteri memicu respon inflamasi akut, dengan edema mukosa yang
meningkat, edema tersebut akan menyebabkan obstruksi selanjutnya mengganggu
aliran darah. Karena arteri appendiks merupakan akhir percabangan dari arteri
ileocolic. Hal itu sangat rentan terhadap oklusi dari tekanan intraluminal
meningkat. Sumbatan biasanya menyebabkan nekrosis dan perforasi usus buntu.
Tanda dan Gejala
1.
Nyeri
dibagian abdomen kanan bawah menuju ke tengah
2.
Anoreksia,
rasa tidak enak, konstipasi, kadang kadang disertai diare, dan mual muntah
3.
Tergantung
pada lokasi appendix
4.
Retrocecal
atau panggul terasa nyeri
5.
Suhu normal
atau sedikit tinggi (37,2° sampai 38° C ; 99° sampai 100°F) namun 25% afebris
6.
Takikardia
juga menyertai suhu yang meninggi
7.
Pyuria
8.
Berkurang
atau bahkan tidak ada suara bising usus
9.
Tanda –
tanda perforasi
Diagnosis
Nyeri spontan dan
nyeri tekan abdomen yang menetap merupakan temuan yang paling konsisten.
Sementara sebagian besar peneliti melaporkan bahwa nyeri bermigrasi ke atas
seiring dengan tergesernya apendiks mengikuti kemajuan kehamilan, Mourad, dkk.
(2000) tidak sependapat. Mereka melaporkan bahwa 80% dari 45 wanita hamil
mengalami nyeri di kuadran kanan bawah tanpa bergantung pada trimester
kehamilan.
Kompresi bertingkat
dengan menggunakan pencitraan ultrasonografik efektif untuk mendiagnosis
apendisitis pada pasien tidak hamil (Puylaert dkk, 1987). Meski Landwehr dkk
(1996) secara tepat mendiagnosis apendisitis pada empat dari lima wanita hamil
dengan menggunakan metode ini, namun kami mendapatkan bahwa tergesernya secum
dan imposisi uterus menyebabkan pemeriksaan yang tepat sulit dilakukan. Rao dkk
(1998) melakukan CT scan apendiks pada
100 pasien tidak hamil yang dicurigai
mengidap apendisitis dan mendapatkan bahwa teknik ini 98% akurat. Tomografi
perlu dievaluasi pada wanita hamil
sebelum diaplikasikan secara luas.
Penatalaksanaan
Apabila dicurigai
apendisitis, terapinya adalah eksplorasi segera secara bedah. Walaupun
kesalahan diagnosis kadang-kadang menyebabkan diangkatnya apendiks normal,
namun lebih baik melakukan operasi yang sebenarnya tidak perlu daripada menunda intervensi
sampai terjadi peritonitis generalisata.
Pada sebagian besar
laporan, diagnosis dipastikan pada sekitar separuh wanita yang menjalani
eksplorasi bedah (Sharp, 1994). Dalam studi di Swedia terhadap 778 wanita yang
dicurigai mengidap apendisitis, diagnosis dipastikan pada 65% kasus (Mazze dan
Kallen, 1991). Pada trimester pertama, 77% diagnosis dipastikan tepat; namun,
pada dua trimester terakhir, hanya 57% diagnosis yang dipastikan saat
pembedahan.
Pada pasien tidak
hamil, laparoskopi dilakukan secara rutin untuk kasus yang dicurigai sebagai
apendisitis akut. Hellberg dkk (1999) membagi secara acak 500 pasien tidak
hamil dengan kecurigaan apendisitis akut ke kedua metode. Mereka menyimpulkan
bahwa pendekatan laparoskopik aman dan menghasilkan pemulihan operasi yang
lebih cepat. Jelaslah pada paruh pertama kehamilan, laparoskopi untuk kasus
yang dicurigai apendisitis dapat diterima (Affleck dkk, 1999). Penulis lain,
mempertanyakan keamanan pembuatan pneumo-peritonium dengan karbon dioksida,
yang dapat menyebabkan asidosis janin dan mengganggu fungsi kardiovaskuler
janin (Amos dkk, 1996). Seperti pengalaman Reedy dkk (1997) dari Swedish Registry tentang laparoskopi
cukup meyakinkan. Mereka mendapatkan
hasil akhir perinatal yang sama pada hampir 2000 prosedur laparoskopik
dibandingkan dengan lebih dari 1500 laparotomi pada wanita hamil dengan usia
gestasi kurang dari 20 minggu.
Pasien mendapat
antimikroba intravena, dan Firstenberg dan Malangoni (1998) menganjurkan
sefalosporin generasi kedua atau penisilin generasi ketiga. Kecuali apabila
terdapat gangrene, perforasi, atau flegmon periapendiks, maka terapi
antimikroba dapat dihentikan setelah pembedahan. Apabila tidak terjadi
peritonitis generalisata, maka prognosis cukup baik. Pada saat apendektomi
jarang diindikasikan seksio cesaria. Kontraksi uterus sering terjadi pada
peritonitis dan walaupun sebagian penulis menganjurkan pemberian obat
tokolitik, namun kami tidak sependapat. De Veciana dkk (1994) melaporkan bahwa
pada apendisitis antepartum peningkatan pemberian cairan intravena dan pemakain
obat tokolitik meningkatkan resiko cedera paru.
Apendisitis yang
tidak terdiagnosis sering merangsang persalinan. Uterus yang besar sering
membantu melokalisasikan infeksi, tetapi setelah kelahiran, saat uterus
mengecil dengan cepat, infeksi yang terlokalisasikan tersebut akan pecah
disertai keluarnya pus ke dalam rongga peritoneum. Pada kasus ini, perlu
dilakukan operasi abdomen akut beberapa jam pascapartum.
Karena hanya
bersifat kebetulan, maka apendisitis pada masa nifas dini jarang terjadi. Pada
sebagian kasus, terutama pada awal apendisitis, diagnosis sangat sulit karena
pada masa nifas leukositosis biasanya tinggi dan sering terjadi penyakit masa
nifas lain yang gejala dan tandanya mirip apendisitis. Anoreksia disertai tanda
iritasi peritoneum, misalnya distensi dan ileus adinamik, seyogyanya mengisyaratkan
apendisitis. Infeksi panggul masa nifas biasanya tidak menyebabkan peritonitis.
Efek pada Kehamilan
Apendisitis
meningkatkan kemungkinan abortus atau persalinan preterm, terutama apabila
terjadi peritonitis. Mazze dan Kallen (1991) mendapatkan bahwa persalinan
spontan lebih sering terjadi apabila pembedahan untuk apendisitis dilakukan
setelah usia gestasi 23 minggu. Pada 45 kasus yang dilaporkan oleh Mourad
dkk(2000), kontraksi uterus dilaporkan terjadi pada 19 dari 23 wanita yang kehamilannya
berusia 24 minggu atau lebih. Kematian janin meningkat pada sebagian besar
penelitian, dan secara keseluruhan angkanya 15%. Dalam studi di Swedia,
kematian janin 22% apabila pembedahan dilakukan setelah minggu ke-23. Mays dkk
(1995) memperkirakan adanya keterkaitan antara sepsis ibu-janin dan kelainan
neurologis neonatus pada kehamilan dengan penyulit apendisitis. Dalam studi
jangka panjang lainnya, Viktrup dan Hee (1998) mendapatkan bahwa apendisitis
selama kehamilan tidak berkaitan dengan infertilitas dikemudian hari.
Laparoskopi operasi dapat dilakukan dengan aman selama
kehamilan, tetapi kemungkinan komplikasi, seperti cedera rahim, kesulitan
selama prosedur, peningkatan tekanan intra-abdomen dan penyerapan CO2 oleh
janin dan ibu harus dipertimbangkan serius walau efek dari penyerapan tersebut
masih belum jelas, namun Dalam studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal
masyarakat Amerika anestesi 2004, penulis menyimpulkan bahwa pneumoperitoneum
CO2 menghasilkan asidosis pernafasan, tetapi tidak menurunkan oksigenasi janin,
sebaliknya temuan menunjukkan bahwa pada janin prematur, insuflasi diinduksi
hypercapnia dan asidosis disertai dengan janin hipoksia berkepanjangan dan
depresi kardiovaskular.
Daftar Pustaka
1. Cunningham,
F. Gary, 2005, Obstetric Wiliams, Edisi 21, EGC : Jakarta
2. Doughty, B.
Dorothy, 1993, Gastrointestinal Disorders, Mosby’s clinical nursing series
3. Prawirahardjo
S, 2007, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Penerbit : Yayasan Bina
Pustaka, Jakarta