Tuesday, June 10, 2014

Asuhan Kehamilan Pada Ibu Dengan Komplikasi Apendisitis


Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. 
Kecurigaan apendisitis merupakan salah satu indikasi tersering untuk melakukan eksplorasi abdomen secara bedah selama kehamilan. Mazze dan Kallen (1991) melaporkan temuan-temuan dari 720.000 persalinan tercatat di swedia dan mendapatkan bahwa 778 (sekitar 1 dalam 1000 kehamilan) wanita menjalani apendoktomi selama kehamilan. Apendisitis dipastikan pada 65% atau sekitar 1 dalam 1500 kehamilan.
Kehamilan sering menyebabkan diagnosis apendisitis menjadi lebih rumit karena:
1.   Anoreksia, mual,  dan muntah yang menyertai kehamilan normal juga merupakan gejala yang sering terjadi pada apendisitis
2.  Sewaktu uterus membesar, apendiks biasanya bergeser ke atas dan keluar menuju panggul sehingga nyeri spontan dan nyeri tekan di kuadran kanan bawah mungkin tidak menonjol
3.      Pada kehamilan normal, biasanya terjadi leukositosis
4.  Terutama selama kehamilan, penyakit-penyakit lain dapat dikacaukan dengan apendisitis, misalnya pielonefritis, kolik ginjal, solusio plasenta, dan degenerasi mioma uterus.
5.    Wanita hamil, terutama pada usia kehamilan lanjut tidak memperlihatkan gejala yang dianggap khas untuk pasien apendisitis non hamil.
Sewaktu apendisitis didorong semakin tinggi secara progresif oleh uterus yang membesar, pembatasan infeksi oleh omentum semakin kecil kemungkinannya terjadi dan resiko ruptur apendiks serta peritonitis generalisata meningkat. Dalam sebuah laporan baru-baru ini oleh Tracey dan Fletcher (2000), lebih dari separuh wanita hamil mengalami apendisitis  perforasi. Apendisitis akut pada kehamilan lanjut memiliki prognosis paling buruk dan memang pada penelitian-penelitian lama, angka kematian ibu mencapai  5% (Sharp, 1994). Meningkatnya morbiditas dan mortalitas janin dan ibu hampir selalu disebabkan oleh penundaan pembedahan.

Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.

Patofisiologi
Oklusi lumen appendiks mencegah sekresi mukosa menjadi kering. Sebagian sekresi menumpuk, tekanan intraluminal meningkat dan mempengaruhi aliran darah mukosa yang menyebabkan hipoksia. Iskemia mukosa dapat berkembang menjadi ulkus, yang memberikan jalan masuk untuk invasi bakteri. Invasi bakteri memicu respon inflamasi akut, dengan edema mukosa yang meningkat, edema tersebut akan menyebabkan obstruksi selanjutnya mengganggu aliran darah. Karena arteri appendiks merupakan akhir percabangan dari arteri ileocolic. Hal itu sangat rentan terhadap oklusi dari tekanan intraluminal meningkat. Sumbatan biasanya menyebabkan nekrosis dan perforasi usus buntu.

Tanda dan Gejala
1.    Nyeri dibagian abdomen kanan bawah menuju ke tengah
2.    Anoreksia, rasa tidak enak, konstipasi, kadang kadang disertai diare, dan mual muntah
3.    Tergantung pada lokasi appendix
4.    Retrocecal atau panggul terasa  nyeri
5.    Suhu normal atau sedikit tinggi (37,2° sampai 38° C ; 99° sampai 100°F) namun 25% afebris
6.    Takikardia juga menyertai suhu yang meninggi
7.    Pyuria
8.    Berkurang atau bahkan tidak ada suara bising usus
9.    Tanda – tanda perforasi

Diagnosis
Nyeri spontan dan nyeri tekan abdomen yang menetap merupakan temuan yang paling konsisten. Sementara sebagian besar peneliti melaporkan bahwa nyeri bermigrasi ke atas seiring dengan tergesernya apendiks mengikuti kemajuan kehamilan, Mourad, dkk. (2000) tidak sependapat. Mereka melaporkan bahwa 80% dari 45 wanita hamil mengalami nyeri di kuadran kanan bawah tanpa bergantung pada trimester kehamilan.
Kompresi bertingkat dengan menggunakan pencitraan ultrasonografik efektif untuk mendiagnosis apendisitis pada pasien tidak hamil (Puylaert dkk, 1987). Meski Landwehr dkk (1996) secara tepat mendiagnosis apendisitis pada empat dari lima wanita hamil dengan menggunakan metode ini, namun kami mendapatkan bahwa tergesernya secum dan imposisi uterus menyebabkan pemeriksaan yang tepat sulit dilakukan. Rao dkk (1998) melakukan  CT scan apendiks pada 100 pasien  tidak hamil yang dicurigai mengidap apendisitis dan mendapatkan bahwa teknik ini 98% akurat. Tomografi perlu dievaluasi  pada wanita hamil sebelum diaplikasikan secara luas.

Penatalaksanaan
Apabila dicurigai apendisitis, terapinya adalah eksplorasi segera secara bedah. Walaupun kesalahan diagnosis kadang-kadang menyebabkan diangkatnya apendiks normal, namun lebih baik melakukan operasi yang sebenarnya  tidak perlu daripada menunda intervensi sampai terjadi peritonitis generalisata.
Pada sebagian besar laporan, diagnosis dipastikan pada sekitar separuh wanita yang menjalani eksplorasi bedah (Sharp, 1994). Dalam studi di Swedia terhadap 778 wanita yang dicurigai mengidap apendisitis, diagnosis dipastikan pada 65% kasus (Mazze dan Kallen, 1991). Pada trimester pertama, 77% diagnosis dipastikan tepat; namun, pada dua trimester terakhir, hanya 57% diagnosis yang dipastikan saat pembedahan.
Pada pasien tidak hamil, laparoskopi dilakukan secara rutin untuk kasus yang dicurigai sebagai apendisitis akut. Hellberg dkk (1999) membagi secara acak 500 pasien tidak hamil dengan kecurigaan apendisitis akut ke kedua metode. Mereka menyimpulkan bahwa pendekatan laparoskopik aman dan menghasilkan pemulihan operasi yang lebih cepat. Jelaslah pada paruh pertama kehamilan, laparoskopi untuk kasus yang dicurigai apendisitis dapat diterima (Affleck dkk, 1999). Penulis lain, mempertanyakan keamanan pembuatan pneumo-peritonium dengan karbon dioksida, yang dapat menyebabkan asidosis janin dan mengganggu fungsi kardiovaskuler janin (Amos dkk, 1996). Seperti pengalaman Reedy dkk (1997) dari Swedish Registry tentang laparoskopi cukup meyakinkan. Mereka mendapatkan  hasil akhir perinatal yang sama pada hampir 2000 prosedur laparoskopik dibandingkan dengan lebih dari 1500 laparotomi pada wanita hamil dengan usia gestasi kurang dari 20 minggu.
Pasien mendapat antimikroba intravena, dan Firstenberg dan Malangoni (1998) menganjurkan sefalosporin generasi kedua atau penisilin generasi ketiga. Kecuali apabila terdapat gangrene, perforasi, atau flegmon periapendiks, maka terapi antimikroba dapat dihentikan setelah pembedahan. Apabila tidak terjadi peritonitis generalisata, maka prognosis cukup baik. Pada saat apendektomi jarang diindikasikan seksio cesaria. Kontraksi uterus sering terjadi pada peritonitis dan walaupun sebagian penulis menganjurkan pemberian obat tokolitik, namun kami tidak sependapat. De Veciana dkk (1994) melaporkan bahwa pada apendisitis antepartum peningkatan pemberian cairan intravena dan pemakain obat tokolitik meningkatkan resiko cedera paru.
Apendisitis yang tidak terdiagnosis sering merangsang persalinan. Uterus yang besar sering membantu melokalisasikan infeksi, tetapi setelah kelahiran, saat uterus mengecil dengan cepat, infeksi yang terlokalisasikan tersebut akan pecah disertai keluarnya pus ke dalam rongga peritoneum. Pada kasus ini, perlu dilakukan operasi abdomen akut beberapa jam pascapartum.
Karena hanya bersifat kebetulan, maka apendisitis pada masa nifas dini jarang terjadi. Pada sebagian kasus, terutama pada awal apendisitis, diagnosis sangat sulit karena pada masa nifas leukositosis biasanya tinggi dan sering terjadi penyakit masa nifas lain yang gejala dan tandanya mirip apendisitis. Anoreksia disertai tanda iritasi peritoneum, misalnya distensi dan ileus adinamik, seyogyanya mengisyaratkan apendisitis. Infeksi panggul masa nifas biasanya tidak menyebabkan peritonitis.

Efek pada Kehamilan
Apendisitis meningkatkan kemungkinan abortus atau persalinan preterm, terutama apabila terjadi peritonitis. Mazze dan Kallen (1991) mendapatkan bahwa persalinan spontan lebih sering terjadi apabila pembedahan untuk apendisitis dilakukan setelah usia gestasi 23 minggu. Pada 45 kasus yang dilaporkan oleh Mourad dkk(2000), kontraksi uterus dilaporkan terjadi pada 19 dari 23 wanita yang kehamilannya berusia 24 minggu atau lebih. Kematian janin meningkat pada sebagian besar penelitian, dan secara keseluruhan angkanya 15%. Dalam studi di Swedia, kematian janin 22% apabila pembedahan dilakukan setelah minggu ke-23. Mays dkk (1995) memperkirakan adanya keterkaitan antara sepsis ibu-janin dan kelainan neurologis neonatus pada kehamilan dengan penyulit apendisitis. Dalam studi jangka panjang lainnya, Viktrup dan Hee (1998) mendapatkan bahwa apendisitis selama kehamilan tidak berkaitan dengan infertilitas dikemudian hari.
Laparoskopi operasi dapat dilakukan dengan aman selama kehamilan, tetapi kemungkinan komplikasi, seperti cedera rahim, kesulitan selama prosedur, peningkatan tekanan intra-abdomen dan penyerapan CO2 oleh janin dan ibu harus dipertimbangkan serius walau efek dari penyerapan tersebut masih belum jelas, namun Dalam studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal masyarakat Amerika anestesi 2004, penulis menyimpulkan bahwa pneumoperitoneum CO2 menghasilkan asidosis pernafasan, tetapi tidak menurunkan oksigenasi janin, sebaliknya temuan menunjukkan bahwa pada janin prematur, insuflasi diinduksi hypercapnia dan asidosis disertai dengan janin hipoksia berkepanjangan dan depresi kardiovaskular.

Daftar Pustaka
1.   Cunningham, F. Gary, 2005, Obstetric Wiliams, Edisi 21, EGC : Jakarta
2.   Doughty, B. Dorothy, 1993, Gastrointestinal Disorders, Mosby’s clinical nursing series
3.  Prawirahardjo S, 2007, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Penerbit : Yayasan Bina Pustaka, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home